Mendaki dan Berbagi
MENDAKI kini jadi kegiatan
populer. Meski biasanya yang didaki saat pendakian adalah gunung, namun arti
dari mendaki tak cuma itu. Jika kita akan menuju titik lain dengan melewati
medan (jalan) yang menanjak (tidak datar), itu juga disebut mendaki.
Jangan sampai salah kaprah.
Mendaki hanya untuk mencari puncak, menjadikannya sebagai tujuan. Padahal, yang
bermakna dalam justru perjalanannya. Puncak jangan pernah dijadikan tujuan
karena tujuan seharusnya saat mendaki adalah untuk pulang.
Paham itu bukan sekedar slogan.
Setidaknya, anggota Komunitas Pendaki Gunung Bandung (KPGB) berusaha memahami
benar hal tersebut. Pendiri komunitas, Dheni Christianto mengatakan, seharusnya
perjalanan pendakian memberi arti lebih dari sekadar kegiatan yang menguras
energi dan kekuatan fisik, namun bisa memoles rasa pendakinya.
Menjadi sosok yang rendah hati,
kaya akan pengalaman, dan bertualang dengan penuh etika adalah yang diharapkan
dari seorang pendaki. "Puncak itu enggak akan kemana-mana kok. Yang
penting itu menikmati perjalanannya. Jangan memaksa ingin ke puncak, pastikan
dulu keselamatan perjalanan. Dan saya pikir, seorang pendaki itu harus punya
etika. Saling menghormati dan menghargai, bukan saja kepada orang lain, tapi
juga kepada alam atau lingkungan," ujarnya ketika ditemui di Basecamp
KPGB, Jalan Kembar Baru Selatan, Bandung.
Dheni mulai serius mendaki gunung
sejak tahun 1990-an. Saat itu, tak ada yang luar biasa dari mendaki. Gunung
Manglayang adalah panorama sehari-hari bagi Dheni yang tinggal di kaki
gunungnya. Ia mengaku gemar mendaki hanya karena menyukainya.
Beranjak dewasa, ia bermaksud
membuat serius setiap pendakian. Tidak ada maksud untuk menaklukkan setiap
puncaknya. Namun, ia ingin menjelajah setiap gunung dengan teknik dan metode
yang tepat.
Hingga sekarang, ia masih belum
bosan juga dengan mendaki. Akan tetapi, sejak belakangan ini mendaki jadi
kegiatan yang populer dan jadi tren, timbul keprihatinan Dheni. Menurutnya, di
tahun 1990-an, insiden saat mendaki tak banyak, rata-rata hanya satu pendaki
yang meninggal setiap tahunnya. Tapi beberapa waktu lalu, dalam satu tahun bisa
mencapai delapan pendaki yang meninggal karena insiden saat mendaki.
Jika bisa dikatakan penyebabnya,
kata Dheni, adalah karena saat ini semakin banyak orang yang mendaki. Bahkan
untuk beberapa gunung dengan pamor besar, dalam satu hari bisa mencapai
500-1000 orang yang mendaki dalam sehari. Masif sekali.
Sayangnya, banyak di antara
mereka yang minim pengetahuan dan wawasan saat mendaki. Terutama, penanganan
saat menghadapi risiko pendakian. Biasanya, mereka adalah orang yang baru
mengenal pendakian. Berangkat dari keinginan untuk membagi wawasan pendakian
kepada lebih banyak orang yang tertarik dengan aktivitas ini, Dheni kemudian
membentuk KPGB.
"Awalnya hanya sekadar
mengajak teman-teman terdekat. Kebetulan yang diajak itu yang memang aktif
mendaki. Lalu dibuat akun di sosial media agar komunikasi dan inetraksi lebih
lancar dengan anggota lainnya," katanya.
Dua tahun sudah KPGB hadir, lebih
dari 600 orang anggotanya dapat dikatakan aktif. Apalagi jika melihat pengikut
di sosial media yang mencapai 14 ribu akun. Setiap bulannya, KPGB rutin membuat
pendakian, bahkan untuk kelompok-kelompok kecil para anggotanya bisa mendaki
setiap pekannya.
Meski mengusung nama Bandung,
anggotanya juga berasal dari luar daerah. Sebut saja Tasik, Cirebon, Bogor,
bahkan dari luar pulau seperti Kalimantan dan Lampung. Jika tak sedang mendaki,
mereka saling berbagi pengetahuan termasuk menjadi ajang pemberian 'wejangan'
bagi setiap anggota.
"Saya menekankan sekali soal
etika saat mendaki. Jangan sampai jadi pendaki yang arogan dan tak
santun," tuturnya.
Mendaki
itu Murah
Sebagai persiapan sebelum
mendaki, seseorang harus memiliki persiapan yang bisa mendukung keselamatan dan
kenyamanannya selama perjalanan. Tak jarang seorang pendaki memiliki banyak
perlengkapan yang justru terkesan mahal. Sebut saja ransel carrier, sepatu
gunung, tenda, sleeping bag, jaket, dan lainnya. belum lagi pendukung yang
digunakan seperti GPS, jam tangan, serta gadget pelengkap lainnya.
"Nah itu kembali pada
prinsip pendaki tersebut. Bagi saya mendaki itu murah, asal ada keinginan.
Karena dibanding fisik, mental juga diperlukan sama besarnya," ujar Robi
Rachman (25), salah seorang anggota KPGB.
Solusi untuk mengatasi mahalnya
perlengkapan mendaki, bisa jadi ada di wadah seperti KPGB. Sesuai dengan moto
mereka, bersama, berbagi, dan bersinergi, semua hal bisa ditanggung renteng.
"Di sini bisa saling
meminjam peralatan karena itu juga jadi lebih terasa erat kekeluargaannya. Kami
semua melakukan sesuatu sebisa mungkin dilakukan bersama, selalu berbagi,
termasuk patungan jika mengadakan kegiatan," katanya.
Meski murah, seorang pendaki
tentu harus dibekali teknik perjalanan agar bisa kembali pulang dengan selamat.
Bekal ini tak hanya alat yang memadai namun juga kesiapan fisik serta mental.
Saat ini KPGB mencoba
mengagendakan kegiatan olah fisik rutin seperti lari pada malam hari di seputar
tempat mereka bisa berkumpul. Meski fisik bukan segalanya namun tubuh yang fit
tentu akan memuluskan perjalanan seorang pendaki.
Para
Srikandi pun Mampu Mendaki Mandiri
Semakin tinggi jalur yang akan
didaki, belum tentu sama besar dengan risiko medan yang akan dilalui.
Contohnya, Gunung Manglayang, meski 'hanya' memiliki ketinggian 1800 mdpl namun
tingkat risikonya bisa mencapai 80 persen.
Untuk itulah pemahaman risiko
perjalanan penting untuk diketahui setiap pendaki. Tak hanya kaum pria, para
wanita pun sudah banyak yang menggelutinya. Hal itu membuktikan, pendakian
terbuka bagi siapapun dengan usia berapa pun.
Saat perjalanan, tak jarang
pendaki wanita hadir di antaranya. Meski begitu, jumlahnya memang masih kalah
banyak dengan pendaki pria. Di KPGB, jumlah pendaki perempuan terbilang banyak.
Salah satunya Resa (18) yang sejak akhir tahun lalu bergabung.
Resa mengatakan, ia sudah senang
naik gunung sejak kecil. Ia terpikat dengan kecantikan pemandangan alam yang
jarang diperoleh di perkotaan. Baginya, mendaki memberikan banyak manfaat.
Selain menjadi lebih sehat, secara psikis ia juga merasakan perubahan positif.
"Dulu saya sedikit manja dan
takut ketinggian. Setelah sering naik gunung saya merasa jadi lebih
berani," tuturnya.
Setelah
bergabung dengan KPGB, Resa jadi banyak memiliki pengalaman dan pengetahuan,
selain teman-teman yang kini dianggapnya saudara.***
0 Response to "Mendaki dan Berbagi"
Post a Comment